Kamis, 04 April 2024

SEDEKAH SAAT PAS PASAN

 SEDEKAH SAAT SUSAH

Oleh

Dr.H. Achmad Zuhdi Dh, M.Fi I

Permasalahan

              Saya pernah membaca ayat al-Qur’an bahwa infak dan sedekah itu dianjurkan bagi siapa saja, baik saat sempit (susah) maupun longgar (berkelebihan). Yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana ketika saya ada uang hanya mencukupi atau pas-pasan untuk kebutuhan keluarga bahkan terkadang kekurangan, kemudian ada ajakan bersedekah untuk musibah bencana alam, apakah saya boleh ikut bersedekah dengan mengurangi jatah untuk keperluan keluarga? Mohon kepada pengasuh rubrik konsultasi agama berkenan memberikan pencerahan mengenai masalah tersebut berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Atas perkenannya, saya sampaikan terima kasih dengan iringan doa jazakumullah ahsan al-jaza’! (Salim, Sidoarjo)

Pembahasan:

              Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan sikap kedermawanan. Pertama al-shakha’ (السخاء), yaitu memberikan sebagian hartanya untuk orang lain dan sebagiannya untuk dirinya sendiri. Kedua, al-Jud (الجود), yaitu memberikan sebagian besar hartanya untuk orang lain, sisanya untuk dirinya sendiri. Ketiga, al-itsar (الايثار), yaitu saat ia masih sangat membutuhkan sesuatu, tetapi sesuatu itu malah diberikan kepada orang lain, yakni mengutamakan orang lain (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, 248).

              Dalam Islam, sedekah adalah amal yang sangat baik dan bisa menjadi salah satu tanda kesalihan serta ketakwaan seseorang. Perintah bersedekah, tidak hanya berlaku bagi orang yang hartanya berlebih, tetapi juga berlaku bagi siapa saja, baik saat longgar (banyak hartanya) maupun sempit (pas-pasan bahkan kekurangan). Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali Imran, 133-134).

              Perintah berinfak dan bersedekah dalam ayat tersebut dapat difahami bahwa jadi manusia itu tidak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi juga memberikan perhatian dan bantuan kepada orang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan.

              Perintah bersedekah saat dalam kondisi harta berlebih dan berlimpah, di antara tujuannya adalah agar seseorang bisa mensyukuri nikmat pemberian Allah dan agar terhindar dari sikap sombong, serakah, serta sikap adigung adigina, sapa sira sapa ingsun. Merasa hanya dirinya yang paling hebat.

              Sedangkan perintah bersedekah saat kondisi hartanya pas-pasan bahkan mungkin kekurangan, di antara hikmahnya adalah agar seseorang tetap punya harga diri, tidak suka memposisikan tangannya selalu di bawah (sebagai penerima) tetapi juga bisa menempatkan tangannya di atas (sebagai pemberi).

              Allah swt berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS. al-Thalak, 7).

Rasulullah saw. mengingatkan kita agar mengutamakan amal sedekah dan menyegerakannya. Tidak perlu menunggu kaya, meski hanya dengan sebutir kurma. Nabi saw bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma. Bila tidak mendapatkan (apapun), maka sedekahlah dengan kalimat (ucapan) yang baik (HR. al-Bukhari No. 6563 dan Muslim No. 2397).

              Umumnya orang suka menumpuk harta dan terus menambah hartanya hingga berlimpah. Nabi saw tidak melarang orang menjadi kaya raya dan terus bekerja keras untuk meraih kekayaan. Namun, pada saat seperti ini, biasanya orang merasa eman untuk bersedekah dan hanya berpikir bagaimana menghimpun harta sebanyak-banyaknya. Karena itu Nabi saw mengingatkan agar seseorang tetap bisa menyempatkan bersedekah, tidak usah menunggu kaya.

              Nabi saw pernah ditanya tentang sedekah yang paling utama dan yang paling besar pahalanya. Saat itu Nabi saw menjelaskan:

 أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

 Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, masih sangat mencintai harta, masih berangan-angan menjadi kaya, dan masih takut menjadi fakir. Dan (sebagai peringatan), janganlah kamu menunda-nunda sedekah hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, lalu kamu baru berkata: “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan” (HR. al-Bukhari No. 2748).

              Pada hadis lain, Dari Abdullah bin Hubsyi Al Khats’ami, Nabi saw.  pernah ditanya mengenai sedekah apa yang paling utama. Saat itu beliau menjawab: “jahdul muqill (جَهْدُ الْمُقِلِّ), yaitu “Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. Abu Dawud No. 1451 dan Al-Nasai no. 2526). Syaikh Al Albani mengatakan hadis ini sahih).

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa sedekah adalah amal yang sangat mulia, bisa dilakukan oleh siapa saja, saat sedang berkecukupan dan berlebihan maupun sedang dalam keadaan pas-pasan atau bahkan kekurangan.

              Berikut ini kisah inspiratif tentang kemuliaan dan keberuntungan orang-orang yang bersedekah saat pas-pasan dan hidup susah. Kisah pertama terjadi pada masa Nabi saw. dan kisah kedua pada masa kita ini.

              Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari No. 3798, dari Abu Hurairah ra.: “Ada seseorang (tamu) mendatangi Rasulullah saw. (dalam keadaan lapar), lalu beliau mengirim utusan kepada para istrinya. Saat itu para istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apa pun kecuali air”. Rasulullah saw. kemudian menemui para sahabatnya: “Siapakah di antara kalian yang mau menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshar berseru, “Saya.”

              Lalu orang Anshar ini membawa orang tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw.!” Istrinya menjawab, “Kami tidak memiliki apa pun kecuali jatah makanan untuk anak-anak.” Orang Anshar itu berkata, “Siapkan saja makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.

              Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah saw. Beliau saw. bersabda:Malam ini Allah tertawa atau takjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah menurunkan ayat (QS. Al-Hasyr: 9, “…Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak…”). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan nama orang Anshar yang melayani tamu tersebut adalah Abu Thalhah ra.  

              Kisah kedua dari orang Minang yang merantau ke Jakarta (hidayatullah.com). Tujuh tahun Abdullah merantau dari sebuah desa kecil di Padang-Sumatera ke Jakarta. Tujuannya hanya satu, mencoba peruntungan. Ia berharap bahwa Jakarta yang sering hanya dilihat di televisi bisa mengubah garis hidupnya.

Salah satu andalan yang bisa ia lakukan di kota paling besar di Negeri ini adalah berjualan kecil-kecilan. Ia memutuskan berjualan makanan Nasi Padang, khas kampungnya. Ia menetap dan tinggal di Jakarta Timur dengan menyewa sebuah tempat kecil. Ia bersyukur, meski kecil, warungnya tidak sepi. Setidaknya dengan warung itu ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Merantau dari desa ke Jakarta tujuannya memang untuk mengais rizki. Tentu, agar irit, semuanya ia lakukan sendiri. Mulai belanja, masak hingga menunggu warung, ia lakukan sendiri.

Suatu hari, di sebelah warung yang ia tempati ada musibah. Seorang bapak, meninggal dunia dengan meninggalkan anaknya yang masih kecil enam orang dan seorang istri. Ia memperhatikan kehidupannya pasca kematian suaminya benar-benar memprihatinkan. Entah, apa yang menggerakkan hatinya, kala itu ia ingin membantu. Namun karena kondisinya yang terbatas, yang mungkin ia lakukan adalah memberi makan mereka secara gratis. Itupun sekali dalam seminggu.

Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, itu saja yang ia kerjakan tanpa tahu makna dari itu. Boro-boro hadis Nabi tentang anak yatim, salat saja masih bolong-bolong, saat itu. Maklum, ketika datang dari desa, ia tak begitu mengenal makna hidup. Tidak terasa, anak-anak yatim yang ia santuni ternyata terus berkembang. Dari enam orang menjadi sembilan. Dan dari sembilan orang, akhirnya anak-anak yatim itu telah mencapai 150 orang.

SubhanallahKalau bukan Allah Swt, tidak mungkin bisa menggerakkan anak-anak yatim datang ke warungnya. Setiap hari Jumat, mereka datang ke warung untuk makan bersama dan pulangnya diberikan amplop sekedarnya. Sering juga muncul pertanyaan dari banyak orang, apakah dengan mengundang mereka makan, tidak menjadikan warungnya rugi? Entahlah, tapi faktanya justru terbalik. Semenjak kedatangan mereka ke warungnya, rezeki yang datang menghampirinya tidak pernah ada habisnya.

Betapa tidak, dahulu ia hanya menyewa warung kecil, kini tanah dan bangunan itu sudah ia beli dan menjadi miliknya sendiri. Tidak itu saja, ia bisa membeli rumah lagi di Jakarta, kemudian menambah beberapa warung Padang lagi untuk memperluas usaha. Dengan begitu ia bisa menambah jumlah karyawan yang semakin banyak.  Akhirnya, istri, anak dan keluarga bahkan semuanya bisa ikut hijrah ke Jakarta. 

Ia yakin benar bahwa semua itu karena karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya semenjak ia dekat dan menyantuni serta menyayangi anak-anak yatim.

(Artikel ini telah dimuat pada Majalah MATAN PWM Jatim edisi April 2024)